Antara Puasa dengan Intermitten Fasting

Dan kita lihat berapa banyak manusia melakukan puasa ala intermittent fasting daripada Senin Kamis dan Ayumul Bidh untuk urusan ibadah sunnah, ya. Subhanallah. Mereka melihat, oh teorinya masuk akal sekali. Ada reaksi autofagi, sel yang tua dibuang diganti sel yang muda. Ketika kita tidak makan selama 20 jam, tubuh kita membuang racun-racun. Ya Rabb, jangan siksa diri Anda. Kita punya puasa ala Nabi. Kenapa pilih puasa ala bajinger, dokter bajinger?

Kemudian rahimakumullah, umat Islam kemakan sama teori-teori mereka yang kata mereka ini ilmiah banget, sedangkan puasa ala Nabi tidak diteliti ilmiahnya. Jadi mending intermittent fasting. Kalau Anda tanya dalilnya, kalau Anda tanya hukumnya, boleh tidak intermittent fasting? Kami katakan boleh. Tapi kenapa Anda tidak pakai Senin Kamis saja? Bukankah lebih afdal Anda menyiksa diri Anda dengan 20 jam tidak makan? Padahal hukum asal makan boleh. Anda jadi melarang diri Anda sendiri dari makan. Mending puasa ala Nabi, Senin Kamis, Ayumul Bidh—ujungnya puncaknya puasa Ramadan. Puncaknya puasa Ramadan.

Nah, masih kalau pas tidak puasa ketika Senin Kamis ada Selasa, Rabu, Jumat, Sabtu, Ahad tidak puasa, Anda bisa pakai pola makan ala Nabi dan adab makan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Al-Qur'an sudah mengajarkan, Nabi sudah mengajarkan. Jangan dipikir urusan makan tidak disampaikan Allah dan Rasul-Nya. Coba Anda perhatikan. Allah sudah berfirman, 

فَلْيَنظُرِ ٱلْإِنسَـٰنُ إِلَىٰ طَعَامِهِۦٓ ٢٤
Maka hendaklah manusia itu memperhatikan makanannya,
Abasa (80:24) 

Dilihat dari makanan ini ada proses tumbuh kembang. Dengan makanan ini kita bisa sembuh. Dengan makanan ini kita bisa sehat. Dengan makanan ini kita tidak boleh, karena ini termasuk pantangan. Ya, kalau makanan dikombinasi ini dengan ini, ini jadi obat.